Kotak besi
seukuran sangkar burung itu nyaris hancur. Bagian atas kotak itu terdesak ke
atas lantaran dihantam batangan besi berdiameter 15 sentimeter. Angka 1990 yang
tertulis pada batangan besi bertemu dengan angka 43 sentimeter pada penggaris
besi yang diletakkan di sampingnya.
Kotak dan
batangan besi tersebut merupakan alat pengukur air bawah tanah atau disebut
sebagai ekstensometer depth well. Dipasang di Balai Konservasi
Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta Utara
sejak 1990, alat itu malah bisa dipakai untuk mengukur penurunan tanah.
Rupanya, batangan besi yang ditanam hingga 300 meter itu berada di tanah yang
ambles 43 sentimeter dalam rentang waktu 26 tahun.
Penurunan
tanah atau land subsidence, sudah terjadi sejak lama. Pusat Penelitian
Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melansir, penurunan
tanah di Jakarta mencapai 7 sentimeter per tahun. Jan Sopaheluwakan, ahli
geoteknologi LIPI menyebutkan, angka penurunan itu merupakan gambaran rata-rata
dari penurunan tanah yang terjadi selama ini.
Temuan ini
dibenarkan Kelompok Keahlian (KK) Geodesi Fakultas Geodesi Institut Teknologi
Bandung (ITB). Hasanuddin Z Abidin, peneliti sekaligus Dekan Fakultas Geodesi
ITB menerangkan, penurunan tanah di Jakarta terjadi secara merata. Bahkan,
Hasanuddin menyebut wilayah utara Jakarta merupakan daerah yang paling banyak
mengalami penurunan tanah.
Peta
penurunan permukaan tanah DKI Jakarta selama 90 tahun berdasarkan pengukuran
Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung.
Hasanuddin
bersama Heri Andreas dan tim KK Geodesi ITB sudah melakukan studi penurunan
tanah di Jakarta sejak 1997. Temuannya menunjukkan, wilayah Jakarta Utara
bagian barat, yakni Pantai Indah Kapuk, Pluit, dan Muara Baru merupakan daerah
yang mengalami penurunan tanah paling signifikan.
Besaran
percepatan penurunan tanah diakui sejumlah ahli tak bisa digeneralisasi.
Kondisi penurunan tanah berbeda pada setiap wilayah yang tersebar di DKI
Jakarta. Kecepatan penurunan tanah pun terjadi berbeda-beda. Tak sama di setiap
tempat.
Meski
melakukan riset berbeda, Jan dan Hasanuddin mengidentifikasi empat faktor
penyebab penurunan tanah. Faktor tersebut adalah eksploitasi air tanah
berlebihan, pembangunan gedung-gedung tinggi, pemampatan tanah karena gempa,
dan konsolidasi sedimen tanah.
Tapi
rupanya, Ibu Kota tak hanya menghadapi penurunan tanah sebagai ancaman buat
penduduknya. Di sisi lain, permukaan air laut juga naik seiring mencairnya es
di Greenland dan Antartika. Beberapa tahun terakhir, sejumlah ilmuwan di
belahan dunia dikejutkan dengan fenomena kenaikan air laut yang dianggap paling
cepat dalam 3.000 tahun terakhir.
Penurunan
permukaan tanah Jakarta berbarengan dengan kenaikan permukaan laut.
World
Economics Forum melansir, kenaikan air laut ini diprediksi bertambah 90 hingga
120 sentimeter hingga tahun 2100. Sejak 1992 hingga 2012, wilayah Antartika
kehilangan 1.320 gigaton es dan Greenland kehilangan 2.940 gigaton es. Es
tersebut mencair dan menyebar ke laut sehingga menimbulkan kenaikan air laut.
Kenaikan ini diprediksi bisa membuat sejumlah kota di belahan dunia tenggelam,
tak terkecuali Jakarta.
Dua kondisi
ini membuat Jakarta harus berbenah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sadar,
mereka harus segera membuat langkah. Penyusutan air tanah yang membikin tanah
menurun harus segera diatasi. Di sisi lain, ketinggian air laut yang mengancam
daratan Ibu Kota, harus dicarikan solusi.
Salah
seorang warga Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara. Warga kampung ini
hidup bersisian dengan air laut yang terus bergerak naik.
Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuti Kusumastuti memahami,
solusi mesti cepat dicari supaya wilayah utara di Jakarta tak tinggal cerita.
Selain mulai memberlakukan pengetatan penggunaan air tanah, Jakarta kini
sedang mencanangkan pembangunan tanggul laut yang kini terintegrasi dalam
program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Sumber :
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/27/13354877/Permukaan.Laut.Naik..Jakarta.Makin.Turun